Saat dilahirkan, fokus awareness mental illness lebih banyak pada orangtuanya. Semua fokus pada kesehatan ibu dan ayah seperti baby blues ataupun depresi paska persalinan. Namun, pernahkah berfikir bahwa masalah mental pada bayi dapat terganggu walau usianya baru lahir? Tentu bisa.
Agar dapat memahami masalah kesehatan bayi sama penting seperti ibu dan ayahnya, kita pelajari bersama yuk!
Mengenal Depresi Pada Bayi Lebih Dekat
Kesehatan mental bayi mengacu pada kesejahteraan bayi dan anak-anak hingga usia 3 tahun, dan ini mencakup pertumbuhan dan perkembangan emosional dan sosial anak.
Menurut penelitian yang diterbitkan oleh American Psychological Association, bayi dan balita dapat menderita gangguan kesehatan mental yang serius. Namun mereka tidak mungkin menerima perawatan yang dapat mencegah masalah perkembangan yang bertahan lama.
Joy D. Osofsky, PhD, dari Louisiana State University, dan Alicia F. Lieberman, PhD, dari University of California, San Francisco, menemukan salah satu penghalang untuk perawatan kesehatan mental untuk anak kecil adalah “kesan yang meresap, tetapi keliru, bahwa anak kecil tidak mengembangkan masalah kesehatan mental dan kebal terhadap efek kesulitan dan trauma dini karena mereka secara inheren tangguh dan ‘tumbuh dari’ perilaku masalah dan kesulitan emosional,”.
Kebanyakan orang merasa sikap anak yang berubah emosinya atau terlihat lupa, mendorong orangtua untuk mengabaikan masalah pada bayi. Dan memfokuskan pertolongan mental hanya pada orangtuanya saja.
Padahal dalam pengalaman pada bayi newborn sekalipun, dapat menyimpan ingatan trauma saat ibu mengabaikan atau melakukan sesuatu yang menyakitinya baik fisik ataupun secara psikologis.
Prediktor awal kecemasan dan depresi mungkin terlihat jelas di otak bahkan saat lahir, menurut sebuah penelitian di Washington University School of Medicine di St. Louis.
Journal of American Academy of Child & Adolescent Psychiatry, menganalisis dengan pemindaian otak bayi yang baru lahir, ditemukan kekuatan dan pola koneksi antara daerah otak tertentu memprediksi kemungkinan bayi mengembangkan kesedihan yang berlebihan, rasa malu, gugup atau rasa cemas pada perpisahan.
Gejala tersebut telah dikaitkan dengan depresi klinis dan kecemasan. gangguan pada anak yang lebih besar dan orang dewasa.
Hubungan antara anak kecil dan pengasuh yang dekat kadang-kadang disebut hubungan “keterikatan atau attachment”.
Sebuah hubungan keterikatan mengacu pada ikatan emosional khusus antara bayi dan pengasuh. Bayi akan mencari kenyamanan nya ketika dia terluka, marah atau ketakutan.
Demikian pula, pengasuh khusus ini, kadang-kadang disebut “figur keterikatan”, memainkan peran penting dalam mendukung keingintahuan bayi dan anak kecil untuk bermain dan bereksplorasi.
Keterikatan bayi dan anak pada orangtua terlihat dari:
1. Datang kepada atau mencari orang tua ketika terluka, membutuhkan bantuan, atau kenyamanan
2. Menunjukkan kasih sayang
3. Menyapa pengasuh atau orangtua setelah mereka berpisah
4. Keluar untuk menjelajah dan juga berinteraksi dengan orang tua mereka saat menjelajah (misalnya, melihat ke belakang dan melakukan kontak mata saat bermain)
5. Lebih nyaman dengan pengasuh daripada orang asing
Keterikatan bayi mempengaruhi kesehatan mental bayi. Dengan keterikatan yang baik, bayi akan merasakan kenyamanan. Termasuk mempelajari komunikasi, emosi dan sosial yang dapat meningkatkan kemampuannya dengan baik.
Namun bagaimana bila bayi kekurangan rasa kasih sayang atau sering diabaikan?
American Psychology Assosiation mengemukakan, pertama kali Nathan Fox, PhD, melangkah ke panti asuhan Rumania, dia dikejutkan oleh keheningan.
“Hal yang paling luar biasa tentang kamar bayi adalah betapa sepinya itu, mungkin karena bayi telah mengetahui bahwa tangisan mereka tidak ditanggapi,” kata Fox, yang memimpin Laboratorium Perkembangan Anak di Universitas Maryland.
Fox mengemukakan raut wajah datar pada bayi-bayi tersebut yang berusaha menghibur dan memahami sekitarnya dengan mandiri. Ada kala bayi hanya menatap kedua tangannya dengan diam tanpa bicara sepanjang hari.
Kontrol impuls yang buruk, penarikan sosial, masalah dengan mengatasi dan mengatur emosi, harga diri rendah, perilaku patologis seperti TICS (atau kedutan, gerakan berulang tidak sengaja, bicara berulang tidak sengaja yang biasa ditemukan pada sindrom Tourrete), tempramen atau mudah meledak, mencuri dan menghukum diri sendiri, miskin fungsi intelektual dan prestasi akademik yang rendah.
Hal ini hanya beberapa masalah yang dirinci oleh David A. Wolfe, PhD, seorang psikolog di University of Toronto, dan mantan mahasiswanya Kathryn L. Hildyard, PhD dalam ulasan tahun 2002 (Child Abuse & Neglect, 2002).
Asosiasi ini juga mentautkan hubungan kekerasan dan diabaikan pada gangguan mental pada bayi dan balita.
Bayi dan balita dapat menderita gangguan kesehatan mental yang serius, namun mereka tidak mungkin menerima perawatan yang dapat mencegah masalah perkembangan yang bertahan lama, menurut penelitian yang diterbitkan oleh American Psychological Association.
Analisis mereka disajikan dalam American Psychologist edisi Februari sebagai bagian dari bagian khusus yang membahas kurangnya perawatan kesehatan mental untuk anak-anak sejak lahir hingga 5 tahun. Diedit oleh Ed Tronick, PhD, dari University of Massachusetts, Boston, dan Osofsky, artikel tersebut mengeksplorasi bagaimana bayi mengembangkan masalah kesehatan mental, merekomendasikan perbaikan dalam kriteria diagnostik, dan menguraikan peluang kebijakan publik untuk psikolog dan pembuat kebijakan.
Menurut sebuah penelitian dari tahun 2006, satu dari 40 bayi mengalami depresi. Seperti yang dilaporkan ABC News, bayi yang depresi menunjukkan dua gejala utama. “Pertama, bayi yang depresi tidak menunjukkan banyak emosi. Kedua, bayi yang depresi mungkin mengalami kesulitan makan atau tidur, dan mungkin mudah tersinggung.”
Peneliti lain mempelajari depresi prasekolah, dan seiring bertambahnya usia anak-anak mereka menjadi lebih dan lebih mungkin untuk mengembangkan depresi. Antara usia 12 dan 15, misalnya, tingkat depresi anak perempuan tiga kali lipat.
Majalah Smithsonian menjabarkan, abad ke-21 menunjukkan pertumbuhan pesat minat klinis pada gangguan mood pada anak-anak, dipengaruhi oleh kemajuan teknologi medis dan bidang neurobiologi yang menggabungkan kekuatan dengan psikologi dan psikiatri.
Studi penelitian berbasis bukti mulai mengalir, masing-masing memvalidasi aspek depresi pediatrik, gejalanya, etiologi dan metode pengobatannya. Para ilmuwan sepakat bahwa meskipun anak-anak memiliki keterampilan afektif (emosional) dan kognitif (berpikir) yang belum matang dan terbelakang, depresi adalah sesuatu yang dapat mereka alami.
Anak-anak mengalami perubahan suasana hati, mampu memiliki pikiran negatif, dan cenderung menunjukkan gejala depresi dengan cara yang lebih perilaku. Contoh seperti respons wajah yang tidak menyenangkan, postur tubuh yang lesu, tatapan mata yang tidak responsif, reaksi fisik yang lambat, dan perilaku yang mudah tersinggung atau rewel, hanyalah beberapa contoh.
Tidak hanya penelitian mengkonfirmasi keberadaan Depresi Anak, tetapi gejala khas terlihat pada berbagai tahap masa kanak-kanak. Hasil ini memperluas cakupan pemahaman depresi pada anak-anak, dan membantu menyoroti bahwa pola depresi bervariasi sesuai usia anak.
Maka dari itu penggunaan teknologi berlebihan tidak disarankan pada anak khususnya bayi agar kesehatannya berkembang dengan baik.
(Nyanya)
Foto : Fatherly, Rompers, Etonomics