Pengalamanku Saat Positive Covid Dengan Bayiku

Ini kisah ku

Hi mom, aku ingin berbagi pengalamanku saat menjalani isolasi mandiri dengan keluarga kecilku.

Siapa yang tidak khawatir divonis positive covid19 saat masih menyusui bayi. Hatiku pun pilu saat harus melewati hari-hari itu, walau aku paham ujian ini mampu aku lewati dengan baik.

Awalnya, aku merasa kurang enak badan. Aktivitas dirumah yang biasa aku jalani, terasa berat sekali. Kemudian aku meriang, tiba-tiba badanku linu dan tidak enak. Lelahnya luar biasa tidak seperti biasanya.

Saat aku merasakan gejala ini aku baru saja melahirkan bayi mungil ku. Bayiku usianya baru beberapa hari.

 

Kupikir gejala ini umum dirasa new mom sepertiku. Terutama yang sering begadang, kurang istirahat, fase pemulihan serta perubahan drastis yang melelahkan.

 

Lama-kelamaan aku batuk dan pilek. Aku masih berfikir positif flu biasa, namanya cuaca sedang tidak mendukung kala itu. Aku terus berfikir dan bersikap seperti biasanya walau aku mulai inisiatif pakai masker agar bayiku sehat.

Ketika gejala anosmia muncul, aku mulai merasa ada yang tidak beres.

Sepertinya aku tertular covid19. Resah hatiku, jantungku berdebar tidak karuan, pikiranku kemana-mana. Walau aku mencoba tenang, tetap sulit rasanya karna aku memikirkan bayiku.

Saking merasa panik, takut, kalut bercampur aduk. Aku memutuskan untuk isolasi mandiri tanpa melakukan test PCR terlebih dahulu.

Aku memilih ini, karna aku menghindari stress saat mengetahui hasil positif nanti bisa mempengaruhi ASI-ku jadi seret.

Aku dan suami mulai melakukan protokol kesehatan lebih ketat. Aku melakukan konsultasi online dengan temanku yang kebetulan bekerja di puskesmas. Untungnya mereka cepat tanggap dan membantuku saat itu.

Semua obat aku terima via layanan ojek online. Aku rajin jemur matahari, mulai memperhatikan pola makan lebih baik lagi demi bayiku. Semua asupan vitamin dan obat tidak ada yang terlewat. Aku berupaya sembuh walau hatiku perih demi bayiku.

Aku tetap menyusui bayiku. Setiap menyusui aku pastikan keadaanku steril dan gunakan dobel masker. Aku pumping bila aku merasa tidak kuat dan butuh istirahat.

Aku berkali-kali rasanya sulit bangun dari tempat tidurku. Namun, setiap kaki ku melihat bayiku saat menyusui wajah damai nya menghangatkanku.

Ada kala aku stress sekali karna sakit dan sendirian tanpa ada yang membantuku. Ada kala aku ingin pergi saja saking lelahnya diriku.

Aku pernah mencoba memberikan susu formula sebagai tambahan saat aku kewalahan karna gejala saat sakit. Sayangnya, bayiku tidak cocok. Bayiku diare dan demam setelah minum susu formula.

PR-ku tidak berhenti sampai disitu saja. Aku ibu baru tidak berpengalaman harus berupaya merawat bayi sendiri. Akupun kesulitan menyusui. Pelekatan yang disebut mudah, ternyata sulitnya luar biasa.

Putingku lecet, aku terlalu fokus pada DBF dan melupakan sesi pumping-ku. Jadwal dan durasi menyusui berantakan. Kesal rasanya.

Aku merasa bersalah dan sering menangis diam-diam. Aku kecewa akan kekuranganku. Kacau sekali rasanya. Aku membebani rasa bersalah ini pada diriku sampai aku baby blues.

 

Setiap aku diriku merasa terhisap lubang hitam. Ada kala aku merasa hampa. Ada kala aku tidak mengenal diriku maupun bayiku.

 

Aku mudah jenuh, emosiku mulai meledak-ledak. Aku sering kesal dan kulampiaskan pada suamiku.

Aku yang tidak sabar berusaha terlihat kuat dan sabar didepan bayiku. Hal itu tidak membuatku bahagia saat itu, namun seperti memenjara diriku.

Pernah saat aku lelah, badanku tidak nyaman, suasana mood-ku benar-benar tidak baik dan rasa bosan ingin keluar dari situasi ini aku seperti benci pada anakku. Saat rewel dan bayiku menangis terus aku dan suamiku bingung apa mau bayiku. Aku merasa emosiku ikut terkuras. Aku benar-benar ingin membantingnya, untungnya aku berusaha keras untuk tetap mengendalikan emosiku.

 

Namun aku beberapa kali menggeletakan bayiku dengan kasar saat emosiku terlanjur meluap bercampur rasa lelahku.

 

Aku juga sering membentak bayiku tanpa sadar. Aku sering melampiaskan kekesalanku karna butanya pemahamanku dengan kebutuhan bayiku. Aku yang kesal, dan melampiaskannya dengan bentakan verbalku. Setiap bentakan itu, ada irisan yang pedih dihatiku.

Aku benar-benar menyesal sampai sekarang.

Suamiku berupaya meraihku. Ia memberikan ku semangat dan menyarankan diriku untuk selalu bersyukur. Ia tidak perduli dengan perlakuan kasarku saat emosi. Ia memaklumi kekuranganku. Ia mencoba membujuk diriku untuk memaafkan diri dan menerima keadaan saat itu.

Tidak apa bersedih, melakukan kesalahan atau tidak bisa merawat dengan sempurna. Manusiawi dan bukan salah kami sepenuhnya.

Aku didampingi olehnya dengan sabar. Ia memastikan aku makan minum dengan baik. Menyusui dengan nyaman dan pumping tanpa beban.

Ketika aku tenang, aku sering kembali emosi. Aku merasa capek, sangat amat lelah. Merasa sendirian, merasa tidak ada yang memahamiku.

Akupun merasa semakin terpuruk karna kedua orangtuaku positif. Pikiranku kembali menyerang. Mood-ku turun naik.

Aku dan suamiku hanya pasangan muda. Usia kami saat itu masih 23 tahun, tidak punya pengalaman dan kebingungan saat mengasuh bayi.

Aku terus berusaha mendamaikan diriku. Aku kurangi ekspektasiku. Aku menyederhanakan kebutuhan kami. Aku mulai rajin beribadah dan mendekatkan diri kepada ALLAH SWT lebih sering.

Aku perbanyak zikir dan istighfar setiap kali emosi menghantuiku. Aku berupaya memahami hak bayiku. Aku tidak boleh egois seperti ini aku harus berubah! Aku harus lekas sehat dan pulih!

Perlahan aku menerima keadaan dan menjalani isolasi mandiri lebih baik. Kita boleh saja menangis, kita boleh saja marah atau kecewa, kita boleh saja sedih. Semua manusiawi dan tidak perlu menahan dan menyembunyikan perasaan kalut diri kita sendiri.

Perlahan coba bangkit kembali. Kita akan bisa melewati fase ini dengan baik.

Semangatku untuk yang sedang isolasi mandiri dengan buah hati kalian.

Kalian kuat dan hebat.

Peluk hangat untuk perjuangan kalian dariku, Moms Y

 

(Nyanya)

Foto : berbagai sumber (Google)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *