Perjuanganku Melawan Postpartum Depresi

 

Ini kisahku.

 

Namaku Mom A. Aku ibu baru yang menantikan buah hati pertama kami yang pertama.

Rasanya tidak sabar bisa menimang anakku nanti. Baju-baju yang sudah ku tata rapih, perlengkapan yang kupilih sendiri dan pernak-pernik yang aku yakin membuat bayiku sangat cantik.

Akhirnya bayi mungil yang ku nanti lahir. Bayiku lahir sehat, cantik persis seperti yang ku bayangkan. Namun, kelahiran baby X membuatku merasa sesuatu yang salah. Ada perasaan berubah, hal yang menurutku tidak nyaman dan aku merasa seperti bukan bagian dari diriku lagi.

 

Aku sering bertanya-tanya aku menyayanginya namun aku kesulitan saat dekat dengannya.

 

Tiga hari pertama aku mulai tidak menyukai keberadaan bayiku. Awalnya keluhanku karena lelah, terlalu capek dan aneh dengan perubahan yang cepat ini. Aku merasa canggung dan terbelenggu karna makhluk kecil yang menjadi prioritas utama kami.

Perubahan drastis ini memacu hidupku. Membanting emosiku, tenagaku.

Kurang pahamnya diriku pada edukasi menyusui buat putingku lecet di awal menyusui. Jujur, aku semakin tidak menyukai situasi ini!

 

Aku dan suami buta dalam merawat bayi. Kami berdua kebingungan, akupun diserang baby blues.

Walau semangatku naik turun, aku berusaha sendirian merawat bayiku ditengah kegundahanku. Pedih hatiku.

Saat itu aku benar-benar butuh bantuan, butuh didampingi merawat bayiku. Nyatanya, aku harus berjuang sendirian. Aku sering teriak dalam hati mengutuk hari-hariku. Aku merasa ibu yang tidak becus merawat anak.

ASI-ku hanya setetes, walau maksimal berupaya. Kuputuskan menyusui direct breastfeed (dbf) selang-seling dengan ASIP.

Aku merasa beruntung suamiku sabar menemaniku. Tapi, dukungan ini belum mengisi kekosonganku. Aku benar-benar penat dan sangat butuh waktu sendiri bahkan hanya untuk sekedar mandi! Dimana me time untukku?!

 

Sehabis lahiran aku tinggal dengan Ibuku. Kebiasaan adat dan tradisi disini kental sekali. Kami masih berpegang adat leluhur kami seperti harus sudah rapih jali di pagi hari, sudah minum jamu, pakai lulur, anak harus sudah mandi, dan lainnya.

Terdengarnya mudah, tapi aku tidak bisa melakukannya. Ibuku tidak membantuku seperti keinginanku sebelum melahirkan.

Suatu ketika bayiku menangis, aku baru saja makan setelah sulitnya aku lepas dari bayiku. Bukannya menolong, Ibuku hanya melirik. Botol ASIP yang sudah kusiapkan disampingnyapun tidak sama sekali diambil.

Perasaan dan hantaman psikologi bertubi-tubi semakin membuatku meronta. Lalu berat hati kuputuskan menjadi mama eping bayiku.

 

Walau suamiku mendukung, komentar sekitarku selalu menyakiti hatiku. Aku mengalami mom shaming yang membuatku semakin terpuruk. Anak akupun ikut di bullying. Hari-hari kelam ini aku lalui, tanpa mengetahui aku baby blues.

Aku kosong, seperti jiwaku hilang entah kemana, aku tidak lapar, tidak kenal apa itu lelah walau fisikku remuk. Mood swing yang ekstrim, setiap menit menangis tiba-tiba.

Harapan aku dimanjakan, dibantu, diayomi Ibuku pupus sudah. Ibuku tidak pernah memperdulikan diriku.

 

Suami pun mulai sadar ada yang tidak beres denganku. Curiga padaku yang lebih sering order makanan di luar. Ia kecewa karna ia meninggalkan uang pada ibuku dengan harapan membuatkanku makanan.

Gerak gerik ku yang terlihat tidak terurus membuatnya khawatir. Ia memperhatikan keadaan dirumah ini diam-diam.

Awalnya aku hire bidan untuk membantuku memandikan bayi sebelum puput pusar. Harapanku setelah puput, ibuku membantuku. Bukannya dukungan yang menyemangatiku, aku hanya mendapatkan raut wajah kesalnya.

Aku tambah down bagaimana cara memandikan bayi?! Lukaku belum pulih, aku masih kesakitan bergerak, namun aku harus melalui sendiri.

Karena belum mahir, bayiku sering ruam dibagian leher yang sulit kujangkau saat mandi. Aku menangis sejadi-jadinya menyalahkan kebodohanku.

Aku sering ditinggal sendirian di rumah hanya berdua dengan bayi saya! Kesal sekali rasanya!

 

Suamiku makin khawatir dengan keadaanku. Makanku tidak teratur, aku yang sering ditinggal hanya berdua dengan bayiku dirumah, aku tidak pernah dibantu ibuku, dan lainnya. Akhirnya, ia mencoba membujukku untuk sewa pengasuh atau tinggal dirumahnya, dirumah mertuaku. Namun kutolak halus tawarannya.

Suatu hari aku cekcok dengan Ibuku. Pertengkaran ini membuatku sakit hati, akupun diusir ibuku.

Dengan rasa kecewa, sedih, kesal, marah yang bercampur aduk aku menangis kedalam kamar.

Aku minta tinggal dirumah mertua saat itu juga kepada suamiku, yang kebetulan sedang menjaga anakku di kamar.

 

Pola makanku mulai membaik di rumah mertua, tapi aku tetap sendirian mengasuh bayiku. Karena ada cucu lain yang dititipkan setiap hari disini.

Merawat sendirian membuatku sampai posesif dan overprotektif pada bayiku. Aku tidak suka bila ada yang menyentuh selain ayahnya.

Saat bayiku usia 2 bulan, baby blues makin menjadi. Setiap mandi aku menangis. Salah satu pemicunya karna aku yang selalu memendam masalahku sendiri.

Aku mulai menyakiti diri sendiri dengan membenturkan kepala ke dinding, mencubit diri sendiri, memukulkan sesuatu ke badan sampai lebam. Bahkan aku berfikir untuk menyakiti bayiku!

Setiap bayiku menangis, selalu ada yang berbisik dikepala. Aku diminta untuk menutup wajahnya dengan bantal. Atau membantingnya ke lantai, atau menusuk badannya dengan gunting saat aku sedang pegang gunting di tanganku.

 

Aku beberapa kali menutup wajahnya dengan bantal. aku diamkan bantal itu beberapa detik lalu aku kaget dan sadar. Aku menangis kencang menggendongnya dan meminta maaf.

 

Aku merasa ini salah! Aku benar-benar butuh bantuan! Aku konsultasi kepada sahabatku yang kebetulan psikolog. Kemudian ia memvonisku Postpartum depresi dan menyarankan menemui psikiater segera.

Baby blues tetap terjadi pada diriku. Aku menyayangi bayiku tapi tidak nyaman dengan keberadaannya.

 

Saat usianya 5 bulan, aku habis beradu argumen dengan suamiku. Bayiku berusaha menggapai tanganku minta digendong. Aku hanya diam saja tidak melakukan apapun. Ketika ia berhasil memegang jariku, aku tepis tangannya.

Tangisannya pecah, ia menjerit tidak berhenti. Ia mengamuk saat itu. Aku lekas sadar menggendongnya dan meminta maaf padanya.

 

Semenjak itu, kehadiranku tidak berarti padanya. Ia lebih nyaman dengan kakek neneknya. Bayiku tidak pernah menangisiku ketika aku tinggal pergi. Ia trauma akan diriku, ibu yang seharusnya merawatnya sepenuh hati.

 

Aku berpikir tidak bisa seperti ini terus-menerus. Perlahan aku mulai terbuka dengan suamiku. Aku mulai sering pillow talk bersamanya. Aku sering memandang wajahnya yang penuh harapan.

Kami sering berbicara saat mood kami bagus. Membahas apapun walau sifatnya sensitif sekali, seperti orangtua kami.

Aku mulai mendamaikan diri bahwa tidak semua bisa dilakukan sendiri. Aku mulai luangkan waktu untuk me time.

Yang pasti ketika aku lelah, jenuh, mengantuk aku titipkan bayiku pada mertuaku.

Kamipun mulai rutin keluar berdua tanpa bayiku. Aku pernah bertanya perasaannya ketika pergi tanpa bayi kami. Jawabannya membuatku terenyuh dan makin menyayanginya, “it’s okay, kamu juga butuh melepas penat” kalimat ini membuat semangatku kembali penuh. Aku beruntung memilikinya di sampingku.

 

Walau sulit, aku mulai memperbaiki dan sering bermain dengan bayiku. Aku rajin menatap wajahnya. Aku berpikir bagaimana bisa aku menyakiti anak sekecil ini? Anak yang ku tunggu selama bertahun-tahun.

Berangsur bayiku Mulai dekat denganku. Mulai menangisi kepergianku. Mulai mencari ku. Aku bahagia, sangat amat bahagia dengan perubahan ini.

 

Aku akan menjadi ibu terbaik bagi anakku!

 

Untukmu baby X, bayi tercantikku.

 

(Nyanya)

 

foto : berbagai sumber

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *