Semenjak aku hamil anak pertama, aku bercita-cita ingin menyusui bayiku hingga berusia 2 tahun. Tetapi takdir berkata lain, ketika kehamilanku berusia 26 minggu, bayiku meninggal dalam kandungan (IUFD) karena dugaan kelainan genetika. Duniaku seperti hancur berkeping-keping, impianku sirna, aku kehilangan seorang bayi yang tidak pernah aku lihat. Ketika ibu lain melahirkan bayi dalam keadaan mennagis, bayiku lahir terdiam tanpa suara. Setelah bayiku lahir dengan induksi, bidan dan perawat langsung membawa ia pergi untuk dimandikan. Kemudian suamiku membawanya pulang untuk dimakamkan. Aku belum sempat melihatnya, memeluknya, menciumnya bahkan mengucapkan selamat tinggal kepadanya. Sehingga, walaupun tahun demi tahun telah berlalu, aku selalu membayangkan wajah putraku seperti apa. Setelah melahirkan ia payudaraku mengeras dan air susuku keluar dengan derasnya. Pada saat itu aku merasakan kesedihan dan rasa terpukul yang sangat kuat, aku sangat merindukannya. Untuk melepaskan semua rasa rinduku padanya, aku menyusui keponakanku yang saat itu berusia 5 bulan. Aku telah menganggap ia sebagai anakku sendiri. Tetapi karena aku ingin hamil lagi, aku terpaksa memberhentikannya.
1 tahun setelah kepergian putraku, aku melahirkan seorang anak perempuan cantik yang aku namai Hana Nabila. Namun pengalaman menyusui Hana juga tidak mudah. Setelah aku melahirkan dia melalui operasi SC, aku tidak diberikan obat anti nyeri, hanya sekali setelah operasi. Aku juga tidak diberi kesempatan untuk IMD, Hana dipisahkan dariku dan aku merasa sangat sedih. Selama 3 hari di rumah sakit, aku hanya bertemu Hana beberapa jam, perawat disana juga tidak mengajarkan aku posisi menyusui setelah operasi. Dan yang membuat aku sangat kecewa adalah mereka memberi susu formula pada Hana tanpa sepengetahuan aku atau suamiku. Semua konsep perASIAN bahwa bayi menyimpan cadangan makanan selama 3 hari dilambungnya setelah dilahirkan, hilang semua. Sesampainya di rumah, Hana menangis ketika aku mencoba untuk menyusui, ia mengalami bingung puting, Setelah itu tamu dan keluargaku yang datang berbondong-bondong memarahiku karena tega membiarkan bayi menangis, mereka mengambil Hana dan memberinya air madu dan susu formula, Orangtua dan ibu mertuakupun tidak mendukungku untuk menyusui Hana, menurut mereka susu formula ialah makanan terbaik untuk bayi.
Konflik demi konflik untuk memperjuangkan ASI kepada anakku pun hadir dan membuat aku frustasi. Aku dilabeli sebagai ibu yang gagal karena tidak dapat melahirkan bayiku secara pervaginam, pun tidak dapat memberikan ASI yang banyak kepada putriku, orang-orang juga mengolok-olok bentuk badanku yang gemuk pasca melahirkan. ASI ku sebenarnya cukup karena dalam 2 minggu Hana kembali ke BB lahir 2.7 kg. Namun karena aku lelah dengan segala tekanan dari keluargaku, aku memberi Hana 100ml susu formula dalam sehari dan ASIku sempat tidak keluar karena ibu mertuaku memaksa menggendong Hana dan meminumkannya susu formula, setelah itu suamiku memarahiku.
Dari sanalah aku mulai mengalami depresi pasca melahirkan. Sayangnya Hana tidak cocok dengan susu formula, sudah terhitung 6x Hana berganti susu formula namun badannya masih menunjukan reaksi alergi seperti diare, kulit kepala berkerak dan sedikit bernanah hingga sembelit.
Dalam keadaanku yang kalut, aku menelepon salah satu konselor laktasi di AIMI dan beliau menyarankan aku untuk menggunakan metode lactation Aid menggunakan selang NGT untuk merangsang pengeluaran ASI ku tanpa menggunakan dot. Akupun menemui dokter laktasi di rumah sakit Hermina Tangerang, dari sana suamiku mulai mendukungku untuk menyusui dan meminta maaf kepadaku. Dr laktasiku mengingatkan aku bahwa aku sedang terkena baby blues syndrome. Ia melihatku aku gelisah, bergemetar ketika sedang menggendong Hana. Namun karena aku takut dikatai gila, tidak beriman dan tidak sayang kepada Hana, maka aku menyembunyikannya dan menolak untuk pergi ke psikolog sesuai rujukan dari dr laktasiku.
Pada saat Hana berusia 3 bulan, Hana harus dirawat di rumah sakit. Tidak ada rasa bersalah yang ditunjukkan keluargaku, mereka malah memintaku untuk mengganti susu formula, lagi dan lagi. Dua minggu setelah Hana sembuh, kamipun menutuskan untuk pindah rumah supaya tidak ada yang menekan aku lagi dan aku dapat menjalankan proses relaktasi dengan tenang. Hana harus meminum susu formula khusus untuk alerginya sehari 2 kali @ 50 ml. Dan sisanya ASI. Kendati, aku dapat lebih tenang menyusui, aku sadar betul bahwa hal yang membuat aku tidak merasa bahagia sebagai seorang ibu adalah karena depresi pasca melahirkanku. Setelah serangkaian upaya bunuh diri karena merasa gagal, akhirnya aku menuruti saran dr laktasiku untuk mengunjungi psikolog bersama suamiku. Kami juga mendatangi setiap pertemuan di grup pendukung. Alhamdulillah setelah itu ASIku menjadi lebih banyak daripada sebelumnya, aku dapat menikmati setiap proses menyusui, ikatan bonding antara aku dan Hana yang sempat terputus karena PPD kembali terjalin. Tidak hanya itu, aku juga membentuk komunitas khusus untuk ibu dengan depresi pasca melahirkan yang bernama MotherHope Indonesia.
3.5 tahun kemudian aku melahirkan seorang bayi laki-laki melalui operasi SC yang sangat gentle, walau begitu, aku tetap dapat menyusui bayiku sejam setelah operasi. Sistem rooming in membuat aku jatuh cinta pada bayiku. ASIku juga sudah keluar pada hari –hari pertama. Namun halangan kembali datang ketika bb Hanif tidak naik saat mengunjungi dr anak dan malah turun. Pada saat itu depresi mulai menghampiriku lagi, aku pikir aku hampir jatuh lagi ke lubang yang sama. Aku kembali merasa gagal. Bayiku selalu menyusui setiap waktu hingga aku kelelahan, bahkan makan minumpun di kasur. Untunglah ada ART yang membantu, namun kondisi Hana yang sakit dan harus di rawat karena diare dan campak membuatku frustasi. Ya, PPD kembali menyapaku. Hingga aku tahu bahwa Hanif memiliki tounge dan lip tie grade 4 dan harus di insisi. Syukurlah, setelah insisi dan senam lidah, bb Hanif perlahan-lahan naik walau tetap diberi suplementasi susus formula sehari sekali. Setelah Hanif berusia 6 bulan, Hanif dapat lepas dari susu formula. BB, TB dan lingkar kepalanya juga sudah sesuai dengan standart bayi pada usianya.
Jika memang menyusui itu merupakan hal yang mudah, bagaimana mungkin ada beberapa ibu yang merasa terpuruk, frustasi, menyalahkan diri sendiri, hingga depresi ketika mereka menemui kesulitan dalam menyusui?, bagaimana mungkin mereka dapat merasa gagal ketika harus menuangkan sedikit susu formula kepada bayinya?, bagaimana mungkin mereka dapat tertekan ketika mereka melihat ibu lain sukses memberikan ASI?. Butuh bertahun-tahun seorang ibu dapat move on sepenuhnya dari ketidakberhasilannnya menyusui. Mereka berharap dapat memperbaikinya pada anak yang kedua, ketiga dan seterusnya.
Memori itu seakan selalu melekat dalam pikiran. Menyusui bukan saja sebuah rutinitas atau kewajiban seorang ibu untuk memberikan buah hatinya nutrisi terbaik, menyusui merupakan bentuk kasih sayang. Di dalam jatuh bangunnya sebuah proses menyusui ada air mata, keringat, keletihan, kemarahan serta kekecewaan. Namun dibalik semua itu terdapat pula kesabaran, ketangguhan dan kekuatan sebenarnya dari seorang ibu walaupun hasilnya bisa jadi berbeda-beda antara satu ibu dengan ibu yang lainnya, Beberapa ada yang berhasil, sebagian ada yang masih mencampurkan ASI dengan susu formula. Semua usaha itu menggambarkan kehebatan seorang ibu yang pantang menyerah. Itulah yang aku rasakan, anak-anakku tidak ada yang ASI eksklusif, tapi semua itu tidak membuatku berhenti untuk menyusui. PPD membuat proses menyusui menjadi sangat sulit karena, tapi bukannya tidak mungkin. Penangananya pun selain ke dr laktasi juga harus ke psikolog atau psikiater. Aku telah memaafkan diriku sendiri dan tidak lagi menyebut diriku sebagai ibu yang gagal, karena anak-anakku butuh ibu yang bahagia.
Kisah inspiratif oleh :
Bunda Nuryana Yirah