Kejar tayang

Kejar tayang

Setelah tepat 20 hari lewat di usiaku yang ke 26 tahun, perempuan manja dan cengeng ini tetiba menjadi seorang bunda. Mengawang mata sayuku pandangi langit yang mulai terasa redup, ”sayang… surgamu ada di sini. Jangan tutup matamu!” berat suara sang ‘ayah’ –gelar barunya—membangunkanku. Kontraksi 48 jam terbayar sudah dengan tangisan bayi laki-laki yang tak lama ada di dadaku (proses IMD). Masih seperti mimpi rasanya, bayi 2,6 kg dan panjang 50 cm ini hadir di tengah-tengah kami.

Tak cukup bekal ilmu 9 bulan mengandung untuk mempelajari ilmu bayi. Bahkan, tentang teknik perah memerah, karena saya ibu pekerja, mengajar di sekolah swasta. Masih ingat di usia 8 bulan kehamilan, saya dan suami sampai berguru ke konselor laktasi (dengan antri 5 jam dan biaya yg menurut kantong pengajar lumayan buat ngumpulin persalinan). Semua demi memberikan yang terbaik untuk bayi pertama kami. Di 10 hari kelahiran, berat bayiku turun menjadi 2,1 kg. entah apa yang salah. “kamu itu kurang banyak makannya, harus makan sayur ini itu” dan berbagai nasihat lain dari para orangtua. Perasaan nih ya bayiku setiap mimik suara “glek-glek” sangat kentara bahkan sampai gumoh tetap aja terus mimik. Nah, sampai di usianya 5 bulan BB tidak naik signifikan, 6,7 kg entah apa lagi yang salah. Meski kenaikan BB bayiku tidak signifikan aku sama sekali tak ingin memberinya sufor karena malu sudah ke dokter laktasi mahal-mahal mosok gagal.

Nah, mulai suka sebut-sebut sufor sebagai ancamanku kepada suami karena stress. Berhasil mengumpulkan kurang lebih 150an botol asip untuk stok saat aku mulai ngajar lagi dengan susah payah itu sih belum perjuangan apa-apa. Belum satu minggu setelah cutiku habis, ART resign. Padahal kudatangkan dia seminggu sebelum akukerja biar bayiku terbiasa dengannya. Menekan kepanikan setelah ART kami pulangkan. Sebulan lebih bayi kami dititipkan di daycare yang lokasinya dekat. Harganya bikin kantong kami menjerit. Satu bulan gajiku hanya habis untuk bayar daycare. Tak apalah sambil nunggu cari penggantinya. Itu artinya dalam waktu 1 bulan lebih ini aku dan suamiku bermotoran pagi-pagi mengantarkan bayi ke daycare, sore jam 4 kami jemput sepulang mengajar. Sampai rumah aku masih harus mengerjakan pekerjaan rumah. Suami ngajar lagi sampai jam 10 malam. Suatu hari mataku terbelalak. Baru sadar asip tinggal 17an botol@100ml. Iya, ternyata tekor stok. Keluar tiap hari 6-7 botol, pumping di sekolah dapat 4-5 botol harusnya bisa menutupi saat sesi malam pumping, tapi apa daya sudah remuk badanku mengerjakan semua sendiri.

Pertolongan Allah datang, di usia bayiku menuju 5 bulan ART muda datang. Mulai ringan bebanku, jadwal pumping malam tak pernah kendor (tapi asiku setiap di pompa tetap hasil tak melimpah) selalu ada patroli dini dari seorang sahabat menyusui di grup fb yang baru kuikuti. DOT, iya kamu DOT. Tapi lagi-lagi sebagai bunda, aku tak bisa meghindari dan memaksakan ART tidak pakai DOT dari ART awal. Karena yang kutahu mencari ART itu lebih sulit dari ujian masuk perguruan tinggi bonavide, halah. Hanya berbekal sounding dan kebahagiaan (ilmu dari grup menyusui, sebut saja Exclusive Pumping Mama Indonesia, minimal aku bahagia karena menemukan banyak ibu yang senasib bahkan ujiannya tak seberapa dengan saya tapi tetap mengASIhi). Ah, perkara turun stok, soundingku agar tetap mau menyusu padaku alhamdulillah sukses, yang penting aku rajin pumping.

Nyatanya dengan sisa ASIP 17an botol itu tidak kunjung menambah koleksi asipku kembali. “Bunda pasti bisa sayang, ayah siap pijatin oksitosin untuk bunda”, begitulah yang dilakukan suamiku. Ujian tak berhenti, ART kami membanding-bandingkan ASIP ku dengan ASIP tetangga yang satu kulkas penuh, sampai mengomentari kenapa bayiku harus nunggu 6 bulan untuk dikasih makan. Mengapa aku pelit mengeluarkan ASIP hanya 6 botol saja per hari (demi mempertahankan stok). Yah, kebawelan ART aku jawab dengan memberikan pengertian, meski kata-katanya berhasil mengubah moodku yang pastinya berefek di hasil pumping. Tapi kupikir daripada kehilangan ART lagi, aku hanya bisa bersabar dengan kelakuan ART ku yang super duper bawel. Belum lagi suka minta jajan. Sudahlah yang penting kerjaan rumah tak sepenuhnya aku pegang.

Alhamdulillah kesabaranku dihadiahi oleh Allah dengan lulusnya ASI eksklusif. MPASI kuhimpun ilmunya dari  2 bulan sebelumnya. Alhamdulillah bayiku lahap sekali makan. Tapi ASIP tetap tidak berkurang dan jumlah stok tidak bertambah. Bahkan kadang berkurang saat aku datang bulan dengan produksi yang makin sedikit. Minimal hari itu keluar 5 botol harus dapat 5 botol juga, itu saja prinsipku. Dan karena sudah mpasi perlahan mulai aku kurangi jumlah ASIP bayi. Semua demi stok lagi. Karena bagiku stok itu sumber ketenanganku meski hanya beberapa botol saja.

Sampai waktu terus berjalan, laju stok ASIP semakin berkurang. Patroli malam terus kulakukan. Sampai kuganti ART kembali. Kini usia anakku jalan 16 bulan. Alhamdulillah masih ASI dan makan yang lahap. Minum ASIP nya aku kurangi lagi kini hanya 3 sesi untuk pagi, siang, sore dan minimal 50 ml. jika lebih itu bonus. Kekuatan sounding lagi-lagi senjataku. Aku selalu meceritakan keadaanku, stok asipku kepada bayiku. “Naf, berapapun ASIP yang bunda tinggalkan untuk kamu itu adalah rezeki dari Allah.

Banyak dan sedikitnya harus diterima dan disyukuri, jika belum puas tunggulah sore hari saat bunda pulang. Nanti bisa mimik puas sampai kamu tertidur malamnya ya”. 8 botol stok ASIP beku dengan 3 stok ASIP yang ready minum. Itulah jumlah kekayaan kami untuk anak kami. Tidak melimpah tapi cukup. Semoga Allah ridhoi sampai 2 tahun. “kita jalani saja bund, dengan berapapun ASI yang ada untuk anak kita. Berkali-kali kamu menangis dan mengancam memberi sufor, nyatanya tak pernah kamu lakukan” begitu kata ayah dari anakku, Ahnaf Fattan Safaraz

 

Kisah inspiratif oleh :
Bunda Ayuningtyas Kiswandari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *