Kisah yang kutorehkan ini adalah kisahku sendiri. Kisah kegagalanku memberi ASI pada anak pertamaku dan di saat yang bersamaan efeknya terhadap psikologisku sendiri yang berawal dari Baby Blues Syndrome dan kemudian menjadi Post Partum Depression. Hingga akhirnya aku berjuang sendiri, mencari info sendiri mengenai bagaimana cara mengatasinya hingga akhirnya perlahan dapat menjadi ‘waras’ kembali hingga akhirnya Allah membantu pemulihan psikologisku dengan hadirnya anak keduaku. Saat usia kehamilan 3 bulan, aku konsulkan kehamilanku ke dr. Yudianto Budi Saroyo, Sp.OG. Saat itu, aku malah menangis karena merasa tidak diperhatikan abi. Oleh beliau aku dinasihati bahwa bayi dalam kandungan itu bisa mendengar dan merasakan apa yang ada di luar. Aku diminta berhenti mengeluh karena nanti bayinya yang akan stress.
Akhirnya abangpun lahir melalui caesar karena detak jantungnya kian melemah. Saat pertama kali abang lahir aku sudah kesulitan untuk menyusui abang. Selalu gagal dalam masa pelekatan. Sementara abang terus menangis. Belakangan barulah kutahu bahwa abang itu high palate. Langit langit mulutnya terlalu tinggi. Semua saran datang padaku sampai aku berpikir aku tidak sebodoh itu. Semua saran yang masuk malah membuatku jadi kurang percaya diri dan akhirnya sarkastis. Saat pulang ke rumah tantangan lain dimulai. Abang terus menerus menangis siang dan malam mungkin karena memang tidak bisa menyusu kala itu. Aku sudah ke konselor laktasi dan hasilnya tetap nihil. Abang masih tetap tidak bisa menyusu. Aku semakin stress. Mau curhat ke abi? Abinya lebih banyak tidak di rumahnya. Sementara di kanan kiriku banyak yang memberi mitos dan petuah petuah mengenai ASI. Kepala rasanya mau pecah dan akhirnya pelampiasannya aku kasar kepada orang, aku terlalu sinis dan nyinyir. Aku terus seperti itu sampai di puncaknya kala abang usia 1 bulan.
Dengan kondisi abang masih tidak bisa menyusu, terlalu sering menangis dan aku kurang tidur. Abi bangkrut kena tipu. Usahanya bangkrut. Luar biasa kala itu tidak terbayangkan stressnya bercampur aduk jadi satu. Aku marah pada abi, aku pukul abi, aku minta cerai sama abi dan kulakukan semua itu di depan abang yang menangis di usianya yang masih satu bulan. Kala itu mamaku langsung masuk dan bilang biar halim sama mama aja, GILA KAMU Kala itu semakin hari aku bukannya semakin sayang ke abang malah benci. Aku tidak mau lagi urus abang sama sekali. Aku telantarkan abang. Bodo amat, kataku kala itu sampai mamaku pun bilang, kalau kamu nggak mau urus halim biar mama saja jadi ibunya.
Kala itupun abi tidak kerja sama sekali. Aku ambil alih menjadi tulang punggung dan abang dirawat abi di rumah. Lalu aku kembali ke agamaku, perlahan ke Tuhanku. Apa ada yang bimbing? Entahlah tapi aku desperate dan sajadah menjadi tempat terdamai untukku. Akhirnya perlahan aku waras lagi. Kujalani semuanya dengan perlahan tanpa mengeluh. Perlahan semua pun tampak bahwa tak ada yang perlu disesali dan diamarahkan. Singkat cerita abi pun dapat kerja lagi, semua perlahan kembali stabil lagi. Kecuali emosi abang.
Abang perlahan tumbuh dengan memiliki asma akibat kegagalanku memberi ASI. Setiap 2 minggu sekali, kami pasti ke dokter untuk mengatasi asma abang yang kambuh. Selain itu, Abang tumbuh dengan emosi yang kadang tidak terkendali. Dari kecil abang mudah sekali menangis dan marah. Semakin dewasa semakin terlihat tabiatnya. Ngeyel. Keras. Selain itu, abangpun tidak sedekat itu denganku jika dibandingkan dengan adiknya. Belakangan aku sudah bawa abang ke psikolog anak dan beliau pun tanya apa dulu aku depresi? Ya. Apa abang tidak ASI? Ya. Maka itulah alasannya kenapa abang memiliki tabiat seperti ini
Bicara dengan abi, aku mau mencoba memperbaiki. Dan aku terus memohon pada Allah bagaimana cara memperbaikinya. Allah menjawab dengan kehamilan Echa. Saat kehamilan echa, abi mencoba memperbaiki kesalahan masa lalu. Abi selalu ada untukku kapan pun dan dimana pun. Abi pindah kerja yang mudah meraihku di tempat kerja agar tidak terlalu lelah. Abi kabulkan semua yang kuidamkan. Singkat cerita kehamilan keduaku begitu damai. Hingga akhirnya Echa lahir. Saat Echa lahir, aku begitu ingin memberi ASI kepadanya agar pengalaman asma abang tidak terulang.
Saat awal aku memberi ASI kepada Echa yang kupikirkan hanya agar Echa tidak perlu menderita asma, karena berdasarkan artikel yang kubaca, ASI memiliki Immunoglobulin E yang juga sebagai anti alergi. Saat Echa masih di rumah sakit, aku meminta tolong kepada pihak rumah sakit untuk mendampingiku dengan konselor laktasi. Dan Alhamdulillah, aku berhasil menyusui. Saat berhasil menyusui Echa, entah kenapa aku merasa tenang sekali. Rilek, tidak ada ketakutan sama sekali. Aku merasa damai. Belakangan barulah kuketahui bahwa ASI keluar dipengaruhi hormon Oksitosin di dalam tubuh si ibu.
Menyusui Echa selain membawa kedamaian juga ternyata baik untuknya, baik untuk kesehatannya maupun untuk psikologisnya. Echa tumbuh dengan karakter yang beda jauh dengan kakaknya. Lebih tangguh. Tidak mudah menangis walaupun agak galak dan iseng ;P. Lebih tenang dan kalem. Lebih mudah mengalah dengan kakaknya. Di saat bersamaan, memiliki echa sebagai adik perlahan lahan membuat karakter abang berubah. Dari terlalu egosentris perlahan menjadi i must protect my sister. Emosi abangpun jauh lebih terkendali walau kadang satu sama lain masih suka bersaing dan bertengkar.
Kisah inspiratif oleh :
Bunda Yasmine H